SEJARAH SASTRA ARAB SYAIR PERIODE JAHILLIYAH.
Perkembangan syair Pada Masa Jahiliyah Menurut pandangan bangsa Arab syair adalah sebagai puncak keindahan dalam sastra. Sebab syair itu adalah suatu bentuk gubahan yang dihasilkan dari kehalusan perasaan dan keindahan daya khayal. Karena itu bangsa Arab lebih menyenangi syair dibandingkan dengan hasil sastra lainnya. Para penyair pada zaman jahiliyah mewakili kelas terdidik (intelegensia), karena syair dalam bahasa Arab memiliki arti al-‘Ilm (pengetahuan); dikatakan Laita Syi’ri berarti Laita ‘ilmi (semoga ilmuku) dan Asy’arahu bin al-Amr berarti A’lamahu (memberitahukan suatu persoalan), oleh karena itu, asy-Sya’ir berarti al-‘Alim (orang yang mengetahui), yakni orang yang mengetahaui sesuatu yang tidak diketahui. Dalam Al-Quran kata yasy’urukum mempunyai arti ya’lamukum (mengetahui), seperti pada ayat
“dan apakah yang menjadikan kamu tahu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak beriman” (QS. 6: 109).
Sebab itulah maka para penyair menempati derajat yang tinggi. Diceritakan dari al-Ashmu’i dari Abi Umar bin al-Ala’, ia berkata: para penyair di mata orang Arab pada zaman jahiliyah menempati posisi para Nabi bagi para umatnya. Mereka dinamakan asy-Sya’ir yang berarti al-‘Alim dan al-Hakim (yang pandai dan bijaksana). Oleh karena itu, munculnya para penyair di kalangan suku dapat digolongkan sebagai suatu peristiwa penting, dimana perayaan dilakukan untuknya. Orang Arab memandang syair dengan pandangan penuh kebanggaan, bahkan barangkali sampai pada tingkat kesakralan. Pada waktu-waktu tertentu mereka hanya melantunkan syair ketika dalam keadaan berwudhu sebagaimana menyenandungkan qasidah al-multamis (kasidah doa) yang berkofiah mim, sebagaimana dalam cerita bahwa Amr bin Hanad melarang Haris bin Hulzah melagukan qasidah al-hamziah (kasidah yang berkofiah huruf Hamzah) kecuali dalam keadaan berwudhu. Mendengarkan syair dan cinta kepadanya bagi orang Arab merupakan kesenian dan perasaan menggebu-gebu yang dapat merasakan (mengetahui) isi ceritanya dan sekaligus mencari ilmu, menambah pengetahuan dan memperbanyak pengalaman. Mereka mencintai syair dan suka mendengarkannya, karena syair merupakan diwan (kumpulan) yang melestarikan kebesarannya, mencatat keturunan dan peristiwa-peristiwa serta mempertajam semangat kepahlawanan dalam jiwanya. Masing-masing suku memiliki satu orang penyair atau lebih yang mampu memperjuangkan keagungan sukunya dan memperkuat kebesarannya serta mempertahankannya.
Para ulama bersepakat bahwa timbulnya prosa lebih dulu dari timbulnya syair, sebab prosa tidak terikat oleh sajak dan irama. Prosa itu bebas bagaikan derasnya air. Sedangkan timbulnya syair itu sangat erat sekali dengan kemajuan manusia dalam cara berpikirnya. Karena itu dari sini dapatlah kita ambil suatu kesimpulan bahwa umat manusia baru dapat mengenal bentuk syair setelah mereka mencapai kemajuan dalam bahasa.
Definisi syair pada Masa Jahiliyah
syair pada masa jahiliyah diartikan sebagai kata-kata yang berirama dan berqafiah yang mengungkapkan imajinasi yang indah dan bentuk-bentuk ungkapan yang mengesankan lagi mendalam. Para penyair pada zaman jahiliyah dianggap sebagai kaum intelektual. Mereka dianggap golongan orang yang paling tahu berbagai macam ilmu yang dibutuhkan bangsa Arab pada masanya. Yaitu pengetahuan tentang nasab, kabilah-kabilah dan ilmu lain yang mashur pada masa itu. Menurut Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islam secara etimologi kata sya’ara sendiri berarti ’alima (mengetahui). Seperti kalimat sya’artu bihi artinya alimtu. Dari sini dapat dipahami juga pada ayat berikut:
وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لَا يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak akan beriman”(QS. 6: 109).
Dalam kamus lisan al-Arab, kata sya’ara ( شعر ) dimaknai ilmu dan ma'rifah. Karena itu kata asy-sya’ir (الشاعر )artinya ( العامل ) wa asy-syu'ara’ artinya ulama. Kemudian sya’ir berkembang menjadi sebutan untuk syair, dalam al-lisan. والشعرمنظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن والقافية،: disebutkan Pada zaman jahiliyah para penyair adalah golongan masyarakat jahiliyah yang paling berilmu. Di samping golongan lain yang disebut dengan hukkam. Golongan ini memberi keputusan atas berbagai perselisihan antar anggota masyarakat dalam hal derajat dan nasab. Setiap kabilah memiliki satu hakim atau lebih, di antara hakim yang terkenal Aqsam bin Saifi, Hajib bin Zurarah, al-Aqra’ bin habis dan Amir bin Gharb. Secara intelektual mereka ini lebih tinggi dari para penyair akan tetapi secara imajinasi para penyair lebih luas dan lebih membekas. Dahulu orang Arab mengatakan إن العرب ديوان الشعر . Yang dimaksud dengan diwan di sini adalah catatan bahwa syair mencatat berbagai hal tentang tata krama, adat istiadat, agama dan peribadatan mereka serta keilmuan mereka, atau dengan kata lain mereka mencatat tentang diri mereka sendiri dalam syair. Dahulu para sastrawan menggunakan syair Arab jahiliyah untuk memahami berbagai perang dan memahami kepahlawanan, kedermawanan dan kelicikan yang digunakan untuk menciptakan syair madah dan hija’
Beberapa kumpulan diwan Arab jahiliyah adalah sebagai berikut: al-Mu’allaqat as-Sab’u yang dikumpulkan oleh Hammat ar-Rawiyah, al-Mufadhdholiyyat yang disusun oleh almufadhdhal adh-dhobiyyu terdiri dari 128 qasidah, diwan alhammasah yang disusun oleh Abi Tamam yang berisi potonganpotongan syi’ir jahiliyah yang sangat banyak, al-Hammasah karangan al-Bukhturi, al-Aghani, asy-Syi’ru wa asy-Syu’ara’ karangan Ibnu Kutaibah, Mukhtarat Ibnu Sajary, Jamharotu Asy’aru al-Arab karangan Abu Zaid al-Kurasyi, syair jahiliyah yang sampai kepada kita tidak lebih dari 150 tahun sebelum kenabian, hasil pengamatan kepada syair Arab menunjukkan tema-temanya tidak variatif, maknanya tidak melimpah, syairsyair jahiliyah, qasidah dan musiqahnya serta iramanya satu, tasybih dan isti’arahnya sering terulang, miskin kreasi dan miskin variasi
syair menjadi panglima kehidupan pada zaman jahiliyah, menjadi idola dalam seluruh bidang kehidupan. Berbagai momen kehidupan baik ritual keagamaan, sosial politik, perang dan perdagangan menggunakan syair sebagai alat motivasi handal.
syair begitu dominan menguasai berbagai macam bentuk ungkapan di berbagai bidang dalam peperangan, dalam perdamaian seperti fakhr dan hija’ dalam penghayatan keagamaan, dalam pemikiran filosofis. Semua bidang tersebut pada masa jahiliyah tumbuh dalam suasana puitis, bahkan rotsa yang biasa digunakan para dukun-dukun jahiliyah pun bersajak sehingga dikenal dengan saja’ul-kuhhan. Hubungan antara keduanya begitu dekat dalam wazan dan qafiyahnya. Secara historis prosa liris tidak memiliki akar yang kuat dalam kehidupan jahiliyah tidak seperti jahiliyah, memiliki tradisi puitis dan memiliki sisi historis yang panjang. Yang menopang kekokohan keberadaannya dari segi produksi, sastrawan dan periwayatannya.
3. Tingkatan Penyair Masa Jahiliyah
Ada empat tingkat para penyair pada masa jahiliyah bila dilihat dari masa hidup para penyair tersebut, yaitu:
Jahiliyun yaitu Mereka yang hidup pada masa sebelum Islam, seperti: Imru’ul Qays, Zuhair bin Abi Sulma.
Mukhadhramun yaitu Mereka yang dikenal dengan syairnya di masa jahiliyah dan Islam, seperti: Khansa’, Hassan bin Tsabit.
Islamiyyun yaitu Mereka yang hidup di masa Islam tetapi masih memegang tradisi Arab, dan mereka ini para penyair bani Umayyah.
Muwalladun yaitu Mereka yang telah rusak tradisi berbahasanya dan berusaha memperbaikinya, mereka ini para penyair bani Abbas.
Beberapa ahli bahasa dan sastra sepakat membagi penyair jahiliyah menjadi enam kelompok:
Penyair al-Badiyah: yang terbagi menjadi dua kelompok;
Penyair Sha’alik : Syanfara, Taabbata Syarran, Urwah bin Ward
Ghair Sha’alik : Muhalhil, Harits bin Hilzah, Amru bin Kaltsum, Antarah.
penyair al-Amir (Penyair Raja): Imru’ul Qais
Penyair Bilath wa at-Takassub: Tharfah bin ’Abd, Abid bin al-Abrash, An-Nabighah adz-Dzibyani, al-A’sya al-Akbar, al-Huthai’ah.
Penyair Hikmah: Zuhair bin Abi Sulma, Lubaid bin Rabi’ah.
Penyair al-Madzahib: As-Samau’ell, ’Adi bin Zaid, Umayyah bin Abi ash-Shullt.
Penyair-penyair perempuan: al-Khansa’.
4. Al-Mu’allaqot
Al-Mu’allaqot Adalah Qasidah panjang yang indah yang diucapkan oleh para penyair jahiliyah dalam berbagai kesempatan dan tema. Sebagian Al-Mu’allaqot ini diabadikan dan ditempelkan di dinding-dinding Ka’bah pada masa Jahiliyah. Dinamakan dengan Al-Mu’allaqot (Kalung) karena indahnya syair-syair tersebut menyerupai perhiasan yang dikalungkan oleh seorang wanita.
Menurut Hammad al-Rawiyah, para pujangga Al-Mu’allaqot berjumlah tujuh orang, yaitu: Imru`ul Qais, Zuhair, Tharfah, Antarah, Lubaid, Amru bin Kulsum dan Al-Haris bin Hilza Menurut Pengarang kitab Jamharah ada tujuh orang juga, namun dia mengganti dua nama penyair Amru dan Antarah dengan A’sya dan Nabighah. Sampai pada masa Tabrizy, ketika mensyarah syair-syair muallaqat, dia menggabungkan dua versi jumlah penyair muallaqat dan ditambah satu menjadi sepuluh orang yaitu Imru`ul Qais, Nabighah, Zuhair, A`sya, Tharfah, Antarah, Lubaid, Amru bin Kulsum, Al-Haris bin Hilza, dan Abidul Abros.
Tujuan syair Masa Jahiliyah
Menurut Syauqi Dhaif Dalam kitabnya Tarikh al-Adab al-Araby: Al-’Ashru al-Jahili, yang pertama kali melakukan tipologi tema syair Arab dan membukukannya adalah Abu Tamam (w. 232 H).
Abu Tamam membagi tema syair Arab dalam 10 (sepuluh) tema yaitu Hammasah, Maratsi, Adab, Nasib, Hija`, Adyaf, Madih, Sifat, Sair, Nu’as, Milh, Mazammatu Nisa`. Tema-tema tersebut tidak teratur kadang Adyaf masuk dalam kategori madih, kadang masuk ke hammasah dan kadang masuk ke fakhr. Sedang tema siar dan nu’as masuk kepada tema sifat sebagaimana Madzammatun Nisa’ masuk ke Hija’ dan al-Milh sering tidak jelas maksudnya.
Qudamah dalam bukunya Naqdu asy-Syi’ri membagi tema syair Arab menjadi enam, yaitu madih, hija’, nasif, maratsi wa al-wasfu wa at-tasybih. Kemudian dia mencoba untuk meringkasnya saja menjadi dua bab saja yaitu bab madah dan hija’.
Ibnu Rasyiq membagi menjadi sepuluh dalam bukunya al-’Umdah yaitu an-nasib, al-madih, al-iftikhar, ar-ritsa, al-iqtidho’, al-istinjas, al- ’itab, al-wa’id, al-indzar, al-hija’ dan al-i’tidzar.
Sedangkan Abu Hilal al-’Askary mengatakan sebetulnya syair Arab jahiliyah itu dibagi menjadi lima yaitu: al-madih, al-hija’, al-wasf, at-tasybih dan al-miratsi. Sampai kemudian an-Nabighah menambahkan satu tema yaitu al-i’tidzar. Sesungguhnya ini adalah pembagian yang baik akan tetapi Abu Bakar al-Asy’ari melupakan satu tema yaitu al-hammasah, padahal tema ini yang paling banyak digunakan oleh orang Arab jahiliyah.
Dalam hal ini, jenis syair Arab jahiliyah menurut tujuannya menjadi sembilan macam, sesuai bentuk dan warnanya yang berlainan antara yang satu dengan yang lain, yang semuanya mewarnai corak yang sesuai dengan tujuannya masing-masing.
a. Tasybih/ghazal
syair yang didalamnya menyebutkan wanita dan kecantikannya, syair ini juga menyebutkan tentang kekasih, tempat tinggalnya dan segala apa saja yang berhubungan kisah percintaan. Seperti syair A`sa ketika tidak tega ditinggal kekasihnya Harirah:
غَرَّاءٌ فَرْعَاءُ، مَصْقُوْلٌ عَوَارِضُهَا * تَمْشِي الْهُوَيْنِيَ كَمَا يَمْشِي الجي الوحل
كَأَنَّ مِشْيَتَهَا مِنْ بَيْتِ جَارَتِها * مَرَ السَّحَابَةِ لَا رَيْثُ وَ لا عَجَل
Seolah-olah jalannya dari rumah tetangganya
Seperti jalannya awan tidak lambat dan tidak juga cepat
Atau syair Imru al-Qays menggambar keindahan Unaizah (kekasihnya) dalam bait syairnya seperti di bawah ini:
فَلَمَّا أَجَزْنَا سَاحَةُ الحَيِّ وَ انْتَحَى * بِنَا بَطْنُ خَبْتٍ ذِي حِقَافٍ عَقَنْقَلِ
هَصَرْتُ بِفَوْدَيْ رَأْسِهَا فَتَمَايَلَتْ * عَلَى هَضِيْمَ الكَشْحِ رَيَا الْمُخَلْخَلِ
مُهَفْهَفَةٌ بَيْضَاءُ غَيْرُ مُفَاضَةٍ * تَرَائِبُهَا مَصْقُولَةٌ كَالسَّجَنْجَلِ
وَجِيْدٍ كَجِيْدِ الرِّثْمِ لَيْسَ بِفَاحِشَ * إِذَا هِيَ نَصْتَهُ وَلَا بِمُعَطَّلٍ
وَ فَرْعِ يَزِينُ الْمَتْنَ أَسْوَدَ فَاحِمِ * أَثِيْتُ كَقَنُو النَّخْلَةِ الْمُتَعَثْكِلِ
Ketika kami berdua telah lewat dari perkampungan, dan sampai di tempat yang aman dari intaian orang kampung
Maka kutarik kepalanya sehingga Ia (Unaizah) dapat melekatkan dirinya kepadaku seperti pohon yang lunak Wanita itu langsing, perutnya ramping dan dadanya putih bagaikan kaca
Lehernya jenjang seperti lehernya kijang, jika dipanjangkan tidak bercacat sedikitpun, karena lehernya dipenuhi kalung permata
Rambutnya yang panjang dan hitam bila terurai di bahunya bagaikan mayang kurma
b. Hamasah/Fakher
syair ini biasanya digunakan untuk berbangga dengan segala macam kelebihan dan keunggulan yang dimiliki oleh suatu kaum. Pada umumnya syair ini digunakan untuk menyebutkan keberanian dan kemenangan yang diperoleh.
Seperti syair Rasyid bin Syihab al- Yaskary yang menantang Qays bin Mas'ud al-Syaibany di Pasar Ukaz;
وَلَا تُوعِدني إنني إن تلاقنى * معى مَشْرِفُ فِي مضاربه قَضَمْ
و ذم يُغَشِّى المرء خِزْياً و رهط * لدى السرحة العشاء في ظلها الأَدَم
Jangan mengancamku, sungguh bila kau menemui aku * Bersamaku pedang tajam dengan darah yang terus mengalir karena sayatannya
Dan celaan yang membuat pingsan korbannya karena malu dan hina * Disaksikan berbagai kabilah di bawah pohon (di pasar Ukaz) di Qubab Adam
c. Madah
syair ini digunakan untuk memuji seseorang dengan segala macam sifat dan kebesaran yang dimilikinya seperti kedermawanan dan keberanian maupun ketinggian budi pekerti seseorang.
Seperti syair Nabighah ketika memuji raja Nu'man:
فَإِنَّكَ شَمْسٌ وَ الْمَلُوكُ كَوَاكِبٌ * إِذَا طَلَعَتْ لَمْ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ
Kamu adalah matahari sedang raja yang lain adalah bintang * Apabila matahari terbit maka bintang-bintang yang lain tidak mampu menunjukkan diri
Atau seperti syair A'sya ketika memuji kedermawanan Muhallik
تَرَى الْجُوْدَ يَجْرِى ظَاهِرًا فَوْقَ وَجْهِه * كَمَا زَانَ مَتْنَ الْهِنْدُوَانِي رَوْنَقُ
يَدَاهُ يَدَا صِدْقٍ: فَكَفٌ مُبِيْدَةٌ * وَ كَلٌّ إِذَا مَا ضُنُّ بِالمَالِ يُنْفَقُ
Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan. * Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma
syair ini ditulis oleh an-Nabighah untuk memuji kaum Ghassasinah, khususnya kepada raja Amru bin al-Harits al Ghassani.
لَهُمْ شِيْمَةٌ لَمْ يُعْطِهَا اللهُ غَيْرَهُمْ * مِنَ الْجُودِ، وَالْأَحْلَامِ غَيْرَ عَوَازِبِ
رِقَافَ النِّعَالِ، طَيِّبٌ حُجْزَاتُهُمْ * يُحَيَّوْنَ بِالرَّيْحَانِ يَوْمَ السَّبَاسِبِ
وَلَا يَحْسَبُونَ الْخَيْرَ لَا شَرِّ بَعْدَهُ * وَلَا يَحْسَبُونَ الشَّرِّ ضَرْبَةَ لَازِبِ
Mereka (kabilah Ghassan) memiliki sifat kedermawanan, * dan cara berfikir cemerlang yang tidak diberikan oleh Allah kepada yang lain
Sandalnya halus, selalu mengendalikan diri, * semua manusia menghormati mereka dengan wangi-wangian pada hari raya sabasib
Mereka sangat berpengalaman, kebaikan tidak melupakan mereka dari kesengsaraan-kesengsaraannya, * demikian juga musibah dan penderitaan tidak membuat mereka berputus asa.
Ini adalah syair Khansa` yang sangat bangga pada saudaranya Shakhr
عظمة صخر
يُؤَرِّقُنِي التَّذَكَّرُ حِيْنَ أُمْسَى * فَأُصْبِحُ قَدْ بُلِيْتُ بِفَرْطِ نَكْسٍ
عَلَى صَخْرٍ، وَ أَيُّ فَتًى كَصَخْرٍ * لِيَوْمِ كَرِيْهَةٍ وَ طِعَانِ خَلَسٍ ؟
فَلَمْ أَرَ مِثْلَهُ رُزْءًا لِجِنٍ * وَ لَمْ أَرَ مِثْلَهُ رُزْءًا لِلإِنْسِ
أَشَدُّ عَلَى صُرُوفِ الدَّهْرِ أَيْدًا * وَ أَفْضَلُ فِي الخُطُوْبِ بِغَيْرِ لِبْسِ
وَ ضَيْفٍ طَارِقٍ، أَوْ مُسْتَجِيْرٍ * يُرَوْعُ قَلْبُهُ مِنْ كُلِّ جَرْس
فَأَكْرَمَهُ، وَ أَمَّنهُ، فَأَمْسَى * خَلِيًّا بَالُهُ مِنْ كُلِّ بُؤْسِ
Setiap malam aku tersiksa oleh ingatanku
Dan di pagi hari kudapati diriku yang kemarin sembuh sakit kembali
Karena ingatanku kepada Sakhr, adakah pemuda yang seperti Sakhr
Pada saat terjadi peperangan dan tebasan pedang bagai kilatan cahaya
Dan tak pernah kulihat musibah mengerikan itu yang menimpa jin
Juga tak pernah kulihat musibah sepertinya yang menimpa manusia
Lebih dahsyat dari bala’ yang menimpa dunia sepanjang masa
Peristiwa yang luar biasa dan tidak orang yang bisa memungkirinya
Setiap datang mengetuk pintu atau datang orang
yang meminta perlindungan selalu menggetarkan hatinya,
maka dia akan memuliakannya dan akan melindunginya.
Dan ketika datang malam hari hatinya menjadi tentram dari segala kesialan
d. Rotsa
syair ini digunakan untuk mengingat jasa seorang yang sudah meninggal dunia. Seperti syair Khansa` yang sangat terkenal dengan rangkaian syair ratsa`nya;
يُذَكِّرُنِي طُلُوعُ الشَّمْسِ صَخْرًا * وَ أَذْكُرُهُ لِكُلِّ غُرُوبِ شَمْسَ
فَلَوْلَا كَثْرَةُ البَاكِينَ حَوْلِي * عَلَى إِخْوَانِهِمْ لَقَتَلْتُ نَفْسِي
Aku selalu teringat Sakhr, aku teringat padanya setiap matahari terbit.* Dan aku teringat padanya ketika matahari terbenam.
Aku teringat padanya antara keduanya. Ingatanku padanya tidak bisa hilang. * Kalau bukan karena aku melihat banyak orang yang menangisi mayat-mayat saudaranya yang mati, mungkin aku sudah bunuh diri.
Juga syairnya yang menggambar kesedihannya yang luar biasa sampai melupakan suaminya;
ألم وزهد في الحياة
فَلَا وَ اللهِ لَا أَنْسَاكَ * أُفَارِقَ مُهْجَتِي وَ يُشَقَّ رَمْسِي
حتى فَقَدْ وَدَّعْتُ يَوْمَ فِرَاقِ صَخْرِ * أَبِي حَسَّانَ، لَذَّاتِي وَ أُنْسِي
فَيَا لَهْفِي عَلَيْهِ وَ لَهْفَ أَمِّي * أَيُصْبِحُ فِي التُرَابِ وَفِيْهِ يُمْسى
Aku bersumpah demi Allah aku tidak akan melupakanmu
sampai maut memisahkan diriku
Aku tinggalkan sejak aku berpisah dengan Shakhr,
Abi Hasan untuk diriku dan aku melupakannya
Aku merindukannya dan juga ibuku merindukannya
Apa dia telah menjadi tanah dan didalamnya dia berada .
e. Hijaa’
syair ini digunakan untuk mencaci dan mengejek seorang musuh dengan menyebutkan keburukan orang itu. Seperti syair syair Zuhair yang mengancam al-Harits bin Warqa` al-Asady yang merampas unta keluarganya. Warqa` terpaksa mengembalikan untanya yang dirampasnya.
لَيَأْتِيَنَّكَ مِنِّي مَنْطِقٌ قَذِحٌ * بَاقٍ كَمَا دَنَّسَ الْقُبْطِيَّةَ الْوَدَكُ
Kamu akan mendapatkan hujatan pedas yang mematikan dariku
Tidak akan bisa hilang seperti baju putih yang terkena lemak.
Atau seperti syair Juhannam yang mengejek A`sya dengan menghina bapak dan pamannya.
أَبُوكَ قَتِيْلُ الْجُوعِ قَيْسُ بْنُ جَنْدَةٍ * وَخَالُكَ عَبْدٌ مِنْ جُمَاعَةَ رَاضِعُ.
Bapakmu mati karena kelaparan (korban kelaparan) Qays bin Jandal
Dan pamanmu hamba dari kabilah Khuma’ah yang rendahan.
f. I’tidzar
syair ini digunakan untuk mengajukan udzur dan alasan dalam suatu perkara dengan jalan mohon maaf dan mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. syair ini dibuat oleh A’sya untuk meminta maaf kepada Aus bin Lam (dari kabilah Thayyi’) yang sebelumnya dia ejek dengan syair hija’nya ;
وَإِنِّي عَلَى مَا كَانَ مِنِّي لَنَادِمٌ .* وَإِنِّي إِلَى أَوْسٌ بِنْ لَامٍ لَتَائِبُ
وَإِنِّي إِلَى أَوْسْ لَيَقِيْلُ عِذْرَتِ * وَيُصَفِّحُ عَنى مَا حَبِيْتُ لَرَاغِبُ
فَهَبْ لِي حَيَاتِي فَالْحَيَاةُ لَقَائِمٌ * بِشُكْرِكَ فِيْهَا، خَيْرُ مَا أَنْتَ وَاهِبُ
سَأَمْحُو بِمَدْحِ فِيْكَ إِذْ أَنَا صَادِقٌ * كِتَابُ هِجَاءٍ سَارَ إِذْ أَنَا كَاذِبُ
Sesungguhnya aku menyesal atas apa yang telah aku lakukan dan aku mohon ampunan kepada Aus bin Lam, dan aku mohon ampunan dari Aus dan menghapus segala kesalahanku adalah keinginanku, berilah aku kehidupan dan kehidupan akan terjaga dengan kesyukuranku kepadamu dan pemberianmu adalah yang terbaik aku akan menghapus kesalahanku dengan ujian kepadamu dan ini adalah pengakuan yang jujur sedangkan ejekan kepadamu yang lalu sebenarnya adalah bohong.
Atau seperti syair Nabighah yang terkenal dengan syair i`tidzariyatnya, memohon maaf kepada raja Nu`man ;
وَ لَكِنَّنِي كُنْتُ امْرَأَ لِي جَانِبٌ * مِنَ الْأَرْضِ فِيْهِ مُسْتَرَادٌ وَ مَذْهَبُ
مَلُوْلٌ وَ إِخْوَانٌ إِذَا مَا أَتَيْتَهُمْ , * أُحَكُمُ فِي أَمْوَالِهِمْ ، وَ أَقْرَبُ
كَفِعْلِكَ فِي قَوْمٍ أَرَاكَ اصْطَنَعْتَهُمْ * فَلَمْ تَرَهُمْ فِي شُكْرِ ذَلِكَ أَذْنَبُوا
فَلَا تَتْرُكَنِّي بِالوَعِيْدِ، كَأَنَّنِي * إِلَى النَّاسِ مَطْلِي بِهِ القَارُ أَجْرَبُ
Sesungguhnya aku orang yang terusir, sampai menemukan tempat yang penuh rezeki, para raja dan teman yang memuliakanku dan memberiku hak untuk menggunakan hartanya semauku Persis seperti apa yang kamu lakukan pada kaum yang kamu beri berbagai limpahan dan ternyata ketika mereka bisa bersyukur hal itu bagimu bukan perbuatan dosa
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ أَعْطَاكَ سُوْرَةً
تَرَى كُلَّ مَلْكِ دُونَهَا يَتَذَبْذَبُ
فَإِنَّكَ شَمْسٍ، وَ المَلُوْلُ كَوَاكِبٌ
إِذَا طَلَعَتْ لَمْ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ
وَ لستَ بِمُسْتَبْقٍ أَذًا لَا تَلَمُهُ
عَلَى شَعَثٍ، أَى الرِّجَالِ الْمُهَذِّبُ؟
Jangan tinggalkan aku dengan ancamanmu, sehingga karena ancamanmu aku seolah-olah terbuang, semua orang menjauh dariku karena takut ancamanmu Seperti unta yang terkena kusta dan dijauhi oleh unta yang lainnya Bukankah Allah telah menganugerahkan kepadamu kedudukan yang tinggi, yang raja-raja selain kamu tidak mampu menyandangnya Kamu adalah matahari sedang raja yang lain adalah bintang Apabila matahari terbit maka bintang-bintang yang lain tidak mampu menunjukkan diri Kamu tidak mungkin menemukan saudara yang tidak kamu cela karena kesalahan kecil. Apakah mungkin ada orang yang tanpa cela .
g. Wasfun
Syair ini biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu kejadian ataupun segala hal yang menarik seperti menggambarkan jalannya peperangan, keindahan alam dan sebagainya. Kebanyakan para penyair jahiliyah adalah orang Badui yang begitu menyatu dengan kehidupan alamnya. Sehingga begitu terpengaruh dengan lingkungannya. Mereka mengambarkan dalam syairnya tentang padang pasir, langit, bintang, angin, hujan, tendatenda perkemahan, puing-puing perkampungan, tempat tempat bermain anak-anak dan unta, tentang kuda dan ciricirinya, perjalanan, peperangan, alat-alat perang, perburuan dan peralatannya, hal ini terlihat jelas pada syair-puisnya Imru’ul Qays. Imru al-Qays menggambarkan kudanya dengan ungkapan yang begitu indah;
وَقَدْ أَغْتَدِي وَالطَّيْرِ فِي وُكُنَاتِهَا * بِمُنْجَرِدٍ قَيْدِ الْأَوَابِدِ, هَيْكَلِ
مُكِرٌ مُفِرٌ, مُقْبِلٍ مُدْبِرٍ مَعًا * كَجَلْمُوْدِ صَخْرٍ حَطَّهُ السَّيْلِ مِنْ عَلِ
يَزِلُّ الغُلَامُ الجِفُ عَنْ صَهَوَاتِهِ * وَبَلْوى بِأَنْوَابِ العَنِيْفِ الْمُثَقَّلِ
لَهُ أَيْطَلَا ظَبْي, وَسَاقَا نَعَامَة * وَإِرْخَاءِ سِرْحَانٍ, وَتَقْرِيبُ تَنْفَلِ
Pagi-pagi aku sudah pergi berburu saat itu burung-burung masih tidur disangkarnya Mengendarai kuda yang bulunya pendek besar larinya cepat mampu mengejar binatang buas yang sedang berlari kencang Maju dan mundur bersamaan secepat kilat seperti hanya satu gerakan Seperti batu besar yang runtuh terbawa banjir dari tempat tinggi Pemuda yang kurus akan kesulitan duduk di pelananya Sebagai orang yang kasar dan besar akan kerepotan merapikan bajunya Pinggangnya seperti peinggang beruang, kakinya panjang dan keras seperti kaki burung Unta Kalau berlari ringan seperti larinya serigala, apabila berlari kencang mengangkat kedua kaki depannya bagi larinya serigala liar.
h. Hikmah
Syair ini berisi pelajaran kehidupan yang terkenal pada zaman jahiliyah Seperti syairnya Lubaid,
الَا كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا اللهِ بَاطِلُ * وَكُلُّ نَعِيمٍ لَا مَحَالَةَ زَائِلُ
وَ كُلُّ أُناسٍ سَوْفَ تَدْخُلُ بَيْنَهُمْ * دويهية تَصْفَرُّ مِنْهَا الْأَنَامِلُ
وَ كُلُّ امْرِئٍ يَوْمًا سَيَعْلَمُ غَيْبَهُ * إِذَا كُشِفَتْ عِنْدَ الآلَهِ الْحَصَائِلُ
Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap dan setiap kenikmatan pasti akan sirna.
Setiap orang pada suatu saat pasti akan didatangi oleh maut yang memutihkan jari-jari.
Setiap orang kelak pada suatu hari pasti akan tahu amalannya jika telah dibuka catatannya di sisi Tuhan
Juga syairnya Zuhair yang luar biasa:
رَأَيْتُ الْمَنَايَا خَبْطَ عَشْوَاء مَنْ تُصِبْ * تُمِتَهُ وَ مَنْ تُخْطِئُ يُعَمَّرْ فَيَهْرَم
وَ مَنْ يَجْعَلِ الْمَعْرُوفَ مِنْ دُونِ عِرْضِهِ * يَفْرُهُ وَ مَنْ لَا يَتَّقِ الشَّتْمَ يُشْتَمِ
وَ مَنْ يُوْفِ لَا يُؤْمَمْ وَ مَنْ يُهْدِ قَلْبُهُ * إِلَى مُطْمَئِنُ البِرِّ لَا يَتَجَمْجَمِ
وَ مَنْ هَابَ أَسْبَابَ الْمَنَايَا يَنَلْنَهُ * وَ إِنْ يَرْقَ أَسْبَابَ السَّمَاءِ بِسُلْمِ
Aku lihat maut itu datang tanpa permisi dulu, siapa yang didatangi pasti mati dan siapa yang luput dia akan lanjut usia.
Siapa yang selalu menjaga kehormatannya maka dia akan terhormat dan siapa yang tidak menghindari cercaan orang dia akan tercela.
Siapa yang menepati janji tidak akan tercela, siapa yang terpimpin hatinya maka dia akan selalu berbuat baik.
Siapa yang takut mati pasti dia akan bertemu juga dengan maut walaupun dia naik ke langit dengan tangga (melarikan diri)
PUSTAKA
Karim, Khalil Abdul. Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan. Terj. M. Faisal Fatawi. 2002. Yogyakarta: LKiS.
Dhaif, Syauqi. 2001. Tarikh al-Adab al-Araby: Al-’Ashru al-Jahili. Cairo: Dar-al-Maarif.
Al-Iskandary, Ahmad dan Musthofa Anany. 1916. Al-Wasith fi alAdab al-Araby wa Tarikhuhu. Mesir: Dar al-Ma’arif.
Al-Mursyidi, Muhammad Ahmad, dkk. Al-Adab wa Al-Nusus wa Al-Balaghah. Mesir: Dar al-Ma’arif.
Wildana, Laily, 2018. Sastra Arab Masa Jahiliyah dan Islam. Malang.UIN-MALIKI PRESS.
Amin, Ahmad. 1975. Fajr al-Islam. Kairo: Maktabah Nahd}iyah alMisriyah.
IS WORKING
BalasHapus